Novel dibangun oleh
unsur-unsur pembangun, yaitu unsur instrinsik dan ekstrinsik. Pada
umumnya, para ahli membagi unsur instrinsik prosa rekaan atas tema,
tokoh, penokohan, alur (plot), latar cerita (setting), sudut pandang,
gaya bahasa, dan amanat. Nurgiyantoro (2010: 23) menjelaskan unsur unsur sebuah
novel sebagai berikut :
unsur-unsur pembangun sebuah novel –
yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas itu- disamping unsur
formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai
macam unsur tersebut secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
walau pembagian ini tidak benar-benar pilah. Pembagian unsur yang dimaksud
adalah unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering
banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel
atau karya sastra pada umumnya.
Dari
pendapat diatas jelas bahwa unsur pembangun fiksi terdiri dari unsur intrinsik
dan juga unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik dan ekstrinsik ini menjadi unsur
yang sering digunakan dalam mengkaji sebuah novel.
(1) Unsur Intrinsik
Unsur
intrinsik adalah unsur yang membangun teks itu dari dalam atau segala sesuatu
yang terkandung di dalam karya satra dan mempengaruhi karya sastra tersebut.
Sesuai dengan pendapat Nurgiyantoro (2010:23) yang menyatakan bahwa
“Unsur intrinsik (intrinsic) adalah
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur- unsur inilah yang
menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara
faktual akan dijumapai jika orang membaca karya sastra”. Unsur Intrinsik
merupakan unsur pembangun karya sastra yang berasal dari dalam karya itu
sendiri. Pada novel unsur intrinsik itu berupa, tema, plot, penokohan,
latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat. Berikut ulasan unsur-unsur
intrinsik novel.
a.
Tema (Theme)
Mempertanyakan makna
sebuah karya, sebenarya juga berarti mempertanyakan tema. Menurut (Stanto dan
Kenny dalam Nurgiyantoro: 2010: 67) “Tema (theme)
adalah makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu, maka
masalahnya adalah: makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema
itu”. Sedangkan menurut (Stanton dalam Nurgiyantoto, 2010: 70) mengartikan tema
sebagai “Makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar
unsurnya dengan cara yang sederhana”.
Berdasarkan
dasar cerita atau ide utama, pengarang akan mengembangkan cerita. Oleh karena
itu, dalam suatu novel akan terdapat satu tema pokok dan subsubtema. Pembaca
harus mampu menentukan tema pokok dari suatu novel. Temapokok adalah tema yang
dapat memenuhi atau mencakup isi dari keseluruhan cerita. Tema pokok
yang merupakan makna keseluruhan cerita tidak tersembunyi, namun terhalangi
dengan cerita-cerita yang mendukung tema tersebut. Maka pembaca harus dapat
mengidentifikasi dari setiap cerita dan mampu memisahkan antara tema pokok
dan sub-subtema atau tema tambahan.
b.
Alur (Plot)
Menurut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2010: 113) juga
berpendapat bahwa “Plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap
kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu
disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain”. Sedangkan (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2010: 113) mengemukakan “Plot
sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan cerita yang tidak
bersifak sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan
kaitan sebab akibat”.
Pengembangan plot dalam cerita didasarkan pada
peristiwa, konflik, dan klimaks. Tiga unsur penentu plot ini memiliki
keterkaitan yang rapat. Kemenarikan cerita tergantung dari ketiga unsur ini.
Menurut (Luxemburg dkk dalam Nurgiyantoro, 2010:117) menjelaskan bahwa “Peristiwa
adalah peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain”. Selanjutnya
Nurgiyantoro ( 2010: 117-119) membagi peristiwa menjadi tiga yaitu:
peristiwa juga dapat dibagi menjadi tiga, yaitu peristiwa
fungsional,kaitan, dan acuan. Peristiwa fungsional adalah peristiwa yang
menentukan ataumempengaruhi perkembangan plot. Keterjalinan peristiwa
fungsional adalah inticerita dari sebuah novel atau karya fiksi. Peristiwa
kaitan adalah peristiwa yangberfungsi sebagai pengait peristiwa-peristiwa penting.
Seperti perpindahan darilingkungan satu ke lingkungan yang lain. Peristiwa yang
terakhir adalah peristiwaacuan. Peristiwa acuan merupakan peristiwa yang
berhubungan dengan kejelasanperwatakan atau suasana yang terjadi di batin
seorang tokoh dalam cerita.
Unsur penentu plot
berikutnya adalah konflik. Konflik menurut (Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro, 2010:122) adalah “Sesuatu yang
dramatik dan mengarah pada pertarungan antara dua kekuatan serta
menyiratkan aksi-aksi balasan”. Konflik merupakan peristiwa,
peristiwa-peristiwa dapat dikategorikan menjadi konflik eksternal
dan konflik internal. Sesuai dengan pendapat Nurgiyantoro (2010:124) yang
menyatakan :
bentuk konflik, sebagai bentuk kejadia, dapat pula dibedakan kedalam dua
kategori: konflik fisik dan konflik batin, konflik eksternal (external conflict) dan konflik internal
(internal conflict)”. Konflik
eksternal adalah konflikyang terjadi pada seorang tokoh dengan sesuatu yang
berada di luar dirinya.Konflik eksternal dapat dibagi menjadi dua, yaitu
konflik fisik dan konflik sosial.
Menurut Nurgiyantoro
(2010:124) “Konflik fisik adalah konflik yang ditandai dengan adanya
permasalahan seorang tokoh dengan lingkungan alam. Sedangkan konflik sosial
adalah konflik yang muncul karena adanya permasalahan dengan tokoh lain atau
permasalahan yang berkenaan dengan hubungan antarmanusia”.
Unsur penentu plot yang
terakhir adalah klimaks. Menurut Nurgiyantoro (2010:126) menyatakan bahwa “Konflik
dan klimaks merupakan hal yang amat penting dalam struktur plot.
Keduanya merupakan unsur utama plot pada teks
fiksi. Konflik demi konflik, baik internal maupun eksternal, inilah
jika telah mencapai puncak titik puncak menyebabkan terjadinya klimaks”.
Klimak selalu menjadi
puncak dari permasalah sesuai dengan pedapat (Stanton dalam Nurgiyantoro,
2010:127) menyatakan bahwa “Klimaks adalah saat konflik telah mencapai
intensitas tertinggi, dan hal saat (hal) itu merupakan sesuatu yang tidak dapat
dihindari kejadiaanya”.
Sedangkan (Kenny dalam
Nurgiyantoro, 2010:130) menyebutkan bahwa, “Kaidah-kaidah pemplotan yang
dimaksud meliputi masalah plausibilitas (plausibility), kejutan(surprise), rasa
ingin tahu (suspense), dan kepaduan (unity)”.
Beberapa unsur tersebut
berfungsi untuk pengembangan plot danmembawa pembaca kepada fakta di dalam
cerita serta memikat agar pembaca menuntaskan ceritanya.
Kaidah plot yang
pertama adalah plausibilitas. Menurut (Stanton dalam Nurgiyantoro, 2010:131)
mengatakan bahwa “Sebuah cerita dikatakan memiliki sifat plausibel jika
tokoh-tokoh cerita dan dunianya dapat diimajinasi (imaginable) danjika para
tokoh dan dunianya tersebut serta peristiwa-peristiwa yang dikemukakan mungkin
saja dapat terjadi”.
Selanjutnya suspense,
menurut (Abrams dalam Nurgiyantoro,
2010:134) menyebutkan bahwa “Suspense menyaran pada adanya perasaan semacam
kurang pasti terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi, khususnya
yang menimpa tokoh yang diberi rasa simpati oleh pembaca”. Atau,
menurut (Kenny dalam Nurgiyantoro, 2010: 134) berpendapat bahwa, “Suspense menyaran
pada adanya harapan yang belum pasti pada pembaca terhadap akhir
sebuah cerita”.
Unsur surprise dalam
plot merupakan unsur yang berdampingan dengan suspense. Menurut
(Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010:136) mengatakan bahwa:
plot sebuah cerita
yang menarik, disamping mampu membangkitkan suspense,
rasa ingin tahupembaca, juga mampu memberikan surprise, kejutan, sesuatu yang bersifat mengejutkan. Plot sebuah cerita fiksi
dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bahkan bertentangan dengan harapan
kita sebagai pembaca.
Unsur yang terakhir
dalam kaidah pemplotan adalah unity. Unity atau kesatupaduan kaidah
pemplotan adalah aspek keterjalinan yang padu antara unsur-unsur yang disajikan,
seperti peristiwa-peristiwa, konflik-konflik, dan seluruh pengalaman
kehidupan yang harus memiliki keterkaitan satu sama lain. Sesuai dengan
pendapat Nurgiyantoro (2010:138) bahwa, “Plot sebuah karya fiksi,
disamping hendaknya memenuhi “kaidah-kaidah” diatas, terlebih lagi haruslah
memiliki sifat kesatupaduan, keutuhan, unity”.
Dengan demikian, alur
cerita merupakan rangkaian peristiwa yang berkesinambungan bergerak
dari pengenalan, muncul konflik, klimaks kemudian penyelesaian.
Bergeraknya alur melibatkan tokoh, latar, dan konflik.
c.
Tokoh dan Penokohan
Selain plot, tokoh dan penokohan juga merupakan unsur
terpenting dari sebuah novel atau karya sastra. Tokoh dan penokohan secara
sekilas memang istilah tersebut hampir memiliki pengertian yang sama.
Menurut Nurgiyantoro (2010:165) mengatakan bahwa,
“Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita”. Sedangkan penokohan
memiliki pengertian yang berbeda. Menurut (Jones dalam Nurgiyantoro, 2010:165)
mengatakan bahwa, “Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Jadi, tokoh lebih kepada
pelaku cerita tersebut sedangkan penokohan
merupakan pelukisan gambaran dari pelaku cerita tersebut.
Tokoh merupakan sosok atau pelaku yang berada di dalam
cerita sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita. Sesuai dengan
pendapat (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2010: 165) mengemukakan, “Tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memilik kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”.
Tokoh-tokoh dalam cerita
dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan, berdasarkan peran
dan pentingnya seorang tokoh dibedakan menjadi; tokoh utama dan
tokoh tambahan.
Menurut Nurgiyantoro
(2010:176) mengatakan bahwa, “Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaanya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling
banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian”.
Tokoh utama lebih mendominasi dalam penceritaan sebuah novel.
Sedangkan tokoh tambahan
tidak terlalu sering diceritakan. Namun memiliki keterkaiatn denga tokoh utama.
Sesuai dengan pendapat Nuriyantoro (2010:177) yang mengatakan bahwa, “Pemunculan
tokoh-tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak
dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh
utama, secara langsung atau tak langsung”.
Dengan demikian tokoh
lebih kepada pelaku dari cerita sedangkan Penokohan merupakan pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita. Jadi penokohan lebih luas pengertiannya dibandingkan tokoh
karena ia sekaligus mengartikan masalah siapa tokoh cerita,bagaimana perwatakan
dan bagaimana penempatan dan pelukisan dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
d. Sudut Pandang (Point of
View)
Selanjutnya unsur
terpenting dari karya sastra atau fiksi adalah sudut pandang. Menurut (Stanton
dalam Nurgiyantoro, 2010: 245) mengatakan bahwa, “Sudut pandang, point of
view, view point, merupakan salah satu unsurfiksi yang digolongkan sebagai
sarana cerita, literary device”. Maksudnya bahwa sudut pandang itu berpengaruh juga dalam penyajian
cerita.
Menurut (Abrams dalam
Nurgiantoro, 2010: 248), mengatakan bahwa, “Sudut pandang, point of view,
menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan
ataupandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan
tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca”. Jadi, bagaimana pengaruh
pengarang dalam memilih sudut pandang berpengaruh juga dalam penyajian
ceritanya.
Dari beberapa
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sudut pandang merupakan cara
pengarang menempatkan dirinya dalam cerita. Sudut pandang juga merupakan
bagaimana pengarang memandang sebuah cerita.
e.
Gaya Bahasa
Dan yan terakhir dari
unsur intrinsik adalah gaya bahasa. Nurgiyantoro (2010:272) berpendapat bahwa,
“Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan
unsur bahan,
alat, dan sarana yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih”
daripada sekadar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana
pengungkapan sastra”.
Bahasa yang digunakan dalam karya fiksi atau sastra biasanya
menggunakan bahasa yang berbeda dengan yang lain atau yang disebut dengan
bahasa sastra. Seperti menurut Tarigan (2008: 144) mengatakan, “Bahasa ilmiah
pada umumnya bersifat denotatif; dan bahasa sastra pada umumnya bersifat
konotatif”. Menurut (Wellek dan Warren dalam Nurgiyantoro, 2010:273) juga
berpendapat bahwa, “Bahasa sastra mungkin dicirkan sebagai bahasa (yang
mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa
nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif”,
Dari pengertian di atas
dapat disimpulkan gaya bahasa merupakan penggunaan bahasa dalam menyampaikan
suatu makna. Gaya bahasa digunakan untuk membantu menyampaikan kesan dan maksud
kepada pembaca melalui pilihan kata. Gaya bahasa sastra berbeda dengan gaya
bahasa dalam karya ilmiah. Gaya bahasa sastra bersifat konotatif sedangkan
karya ilmiah bersifat denotatif.
2. Unsur Ekstrinsik
Unsur Ekstrinsik menurut
Nurgiyantoro (2010: 23) berpendapat bahwa, “Unsur ekstrinsik
(extrinsic) adalah unsur-unsur yang
berada di luar teks sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangun
atau sistem organisme teks sastra”. Unsur ekstrinsik merupakan bagian
yang mempengaruhi bangun cerita karya sastra tetapi tidak didalam karya sastra
itu sendiri.
Menurut (Wellek dan
Warren dalam Nurgiyantoro, 2010:) juga berpendapat bahwa :
unsur ektrinsik terdiri atas sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara
lain adalah keadaan subjektivitas individu pengarang yang meniliki sikap, keyakinan,
dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang ditulisnya.
Pendek kata, unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang
dihasilkan. Unsur ekstrinsik beikutnya adalah psikologi pengarang (yang
mencakup proses kreatifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip
psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi,
politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu
merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan
hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya.
Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan bahwa, unsur ekstrinsik merupakan unsur luar dari sebuah
karya sastra. Unsur instrinsik lebih membahas kepada pengarang. Baik dari
psikologi pengarang maupun unsur pembentuk lainnya yang berkaitan dengan
lingkungan pengarang.
Komentar
Posting Komentar